Adalah sosok bernama Jemi Ngadiono, seseorang yang berhati tulus menolong anak-anak di pedalaman melalui gerakan 1000 Guru, yang menghantar aku menginjakkan kaki di tanah Kupang, Nusa Tenggara Timur untuk pertama kalinya.
1000 Guru yang sudah berjalan sejak tahun 2012 adalah gerakan non-profit yang diusahakan secara mandiri oleh generasi muda yang peduli dengan nasib anak-anak di pedalaman yang buta teknologi, serba kekurangan bahkan banyak yang putus sekolah. Sekaligus jalan-jalan mbolang ke pedalaman Indonesia yang terlalu indah untuk dilewatkan sambil mengenal budaya Indonesia yang kaya & unik. Hingga saat ini, 1000 Guru literally berjumlah ribuan yang tersebar di seantero Indonesia dan tiap bulan pasti ada aktivitas traveling & teaching.
Awal November ini, 1000 Guru mengajar anak-anak SD di pedalaman Desa Banli, berjarak sekitar 4 jam dari Kupang. Aku berangkat dari Surabaya Jumat pagi dan beberapa teman lainnya berangkat dari Jakarta di Sabtu subuh.
Tempat pertama yang kami singgahi adalah sentra kerajinan alat musik tradisional Sasando yang terkenal di kota Kupang. Keluarga Bapak Jeremiah ini telah turun-temurun selama 4 generasi berkarya dan terus menyempurnakan instrumen Sasando dengan menambah senar, mengganti bahan, hingga memodifikasi bentuk Sasando supaya bisa menghasilkan suara yang jernih dengan jangkauan tangga nada yang luas.


Jitron, salah satu anak Bapak Jeremiah, berhasil masuk di Asia Got Talent dengan keahliannya bermusik Sasando loh! Mulai dari lagu tradisional hingga lagu pop bisa dilantunkan dengan merdu oleh pemusik Sasando ini. Salut!
Selepas dari sentra kerajinan Sasando, kami meneruskan perjalanan menempuh jalanan yang rusak, berkelok-kelok, dan curam. Kami pun singgah sejenak di Pantai Kolbano yang menyejukkan mata!
Kami juga mampir beli jagung Kupang yang terkenal manis & kenyal, beda banget dengan jagung di Jawa yang kopong.
Akhirnya, tiba juga kami di Desa Banli di Sabtu siang dan disana kami sudah ditunggu oleh penduduk desa yang excited menerima kedatangan kami. Ada kepala sekolah, kepala desa, pendeta, para murid bahkan orang tua murid juga hadir di Sabtu siang untuk menyambut kami.




Para ibu juga berkontribusi menabuh gendang dan mengiringi para penari berjalan konvoi dari titik awal masuk desa hingga SD yang dituju.
Sesampainya di sekolah, kami disambut dengan sangat baik & disuguhi makanan & minuman. Aku tidak mampu menghabiskan appetizer daun sirih yang rasanya pedasnya beradu dengan pahitnya biji pala.
Setiap orang diberi syal kain tenun yang dibuat sendiri oleh warga desa Banli. Terharuuuu banget!
Sebelum mengajar, kami disuguhi hidangan makan siang yang nikmat banget. Ada ikan bakar, ayam goreng, dan sambal khas Kupang; cabai hijau ditumbuk kasar & dibumbui garam. YUM!
Setelah isi tenaga, kami mulai berpencar dalam grup sesuai dengan kelas yang diajar. Aku mendapat tugas mengajar kelas 4 dengan tema Peta Indonesia. Saat masuk ke dalam kelas, ruangan kelasnya sangat gelap karena memang tidak ada lampu. Bahkan tidak ada papan tulis, meja guru, atau lantai tegel yang layak.
Kami memutuskan mengajak anak-anak belajar di luar supaya lebih terang.


Disini, aku tidak hanya mengajar anak-anak tetapi justru aku yang belajar banyak dari mereka.
Aku belajar bersyukur, bahagia dengan hal-hal yang sederhana & menjadi diri sendiri apa adanya.


Petang menjelang & tiba saatnya kami istirahat. Kami pindah ke SD Induk yang fisik bangunannya lebih baik & bermalam di salah satu ruangan kelas beralas tikar & meringkuk di dalam sleeping bag.
Untuk makan malam, guru-guru SD Banli memasak gulai kambing yang uenak pol! Ditemani nasi putih panas & sambal hijau yang asih gurih pedes, semuanya menyantap makanan dengan khusyuk sementara hujan deras megguyur desa kecil ini.
Digabung ama indomie…sadappppp!
Tidak ada listrik maupun sinyal telpon samasekali. Toilet pun sangat jauh & di luar sana sangat gelap. Untung, aku tidak kebelet ke toilet. Hehehe. Malam itu, kami tidur pulassss ala ikan pindang. Zzzzz
Selamat pagi, Kupang!




Usai berpamitan, kami melanjutkan perjalanan kembali ke kota Kupang. Di tengah perjalanan, kami singgah di beberapa tempat yang indahhhhh.
Kami juga mengunjungi sentra kerajinan kain tenun yang cantik & indah. Details matter! Dijual seharga 200-400 ribu rupiah/meter, beberapa teman membeli kain disini untuk koleksi. Selain itu, harganya lebih murah dibanding kalau kain-kain cantik ini sudah masuk di Pasar Mayestik Jakarta 😀

Kami melanjutkan perjalanan di padang pasir Oetune dan istirahat sejenak untuk santap siang disana. Warga desa Banli telah menyulap gulai kambing sisa kemarin malam menjadi kambing goreng. Ditemani dengan air kelapa seharga IDR 5,000 di tepi pantai yang indah dengan angin sepoi-sepoi, rasa makan siang ini jadi dobel nikmatnya.

Satu tempat terakhir yang kami singgahi adalah Gua Kristal namun sayangnya kami terlalu sore sehingga aku tidak bisa mengabadikan foto di dalam gua yang fenomenal ini karena terlalu gelap.
Jalan menuju ke Gua Kristal sungguh tak terduga & tidak ada papan petunjuk jalan yang jelas. Ditemani anak-anak desa yang tinggal di sekitar situ, kami akhirnya sampai di gua itu.
Gua Kristal adalah oase yang terdapat di bawah tanah yang tandus & berkilau seperti kristal biru bila ditimpa matahari sehingga dijuluki Gua Kristal.
Setelah berjalan melewati tanah tandus & bebatuan dengan panduan anak-anak kecil yang sering main di gua tersebut, ada jalan bebatuan yan menjorok ke dalam gua. Inilah pintu masuknya. Gelap, penuh bebatuan licin & curam.
Sekitar 30 meter dari bibir gua, ada air payau yang terkumpul di ceruk yang dalamnya tidak terduga. Di dasar ceruk tersebut ada lubang yang menuju ke lautan bebas. Serem juga ya kalau sampai terjebak di gua saat air pasang/surut!

Sunset di Gua Kristal.
Overall, perjalanan traveling & teaching bareng 1000 Guru adalah momen yang membuka mata, hati & pikiran saya, belajar mengenal budaya Indonesia yang anti-mainstream dan juga bertemu teman-teman baru yang seru banget. Can’t wait for the next trip!
Follow 1000 Guru untuk informasi trip berikutnya yak 😀
Membaca ceritera diatas perasaanku berubah-ubah kadang senang, exciting, bangga tapi tidak jarang juga timbul haru yang dalam. Juga ada perasaan malu sebagai orang yg lahir dari rahim tanah NTT belum berbuat banyak buat tanah Flobamora. Satu hari nanti saya akan pulang bisikan itu terus memanggil. You did a great thing, really proud of you !!!
Hayukkk Pak Markusss. Let’s do some charity project there with 1000 Guru 😀
Wah itu wajah-wajah anak di sana masih polos banget ya…..senang sekali dapat kesempatan ke sana Mba….mudah2an saya juga bisa dapat kesempatan spt itu
Belajar bersyukur dan kesederhaan di setiap perjalanan inilah yang gw cari … terus berjalan untuk memperkaya iman #Lanjutkan